Islam sebagai agama mulia, menempatkan posisi wanita sebagai madrasah utama dalam pendidikan di rumah. Ibu, mendapat posisi penting sebagai guru besar pendidikan pertama anaknya, bukan kakek dari anaknya, nenek dari anaknya, bahkan ayah dari anaknya sendiri tapi seorang ibu. Orang pertama yang menyiapkan generasi rabbani.
Islam menurunkan hikmah dan ibrah tentang dominasi peran ibu di dalam rumah, perintah menghargai ibu lebih pertama dititahkan oleh Allah ketimbang ayah. Dalam surah Al Ahqaf ayat 15, Allah ta'ala berfirman,
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".
Jika seorang ibu yang solehah bisa mengasuh 5 anak muslim di keluarganya untuk tumbuh menjadi generasi pembangun agama. Kita bisa hitung berapa banyak generasi emas umat islam yang bisa dihasilkan dari 800 juta perempuan muslim saat ini?
Perihal peran wanita dalam menyiapkan generasi emas Islam, Muhammad Quthb, seorang ulama Mesir yang concern terhadap pendidikan Islam sekaligus pemikir ulung abad 20, dalam bukunya "Ma’rakah At Taqalid" pun menulis,
“Islam memperhatikan pria dan wanita karena mereka akan menjadi ibu-bapak produk baru. Tetapi Islam lebih memperhatikan wanita, karena wanitalah pembangun hakiki dari generasi. Sedangkan ayah baru menyusul kemudian. Mungkin ayah yang akan mendidik tapi itu nanti sesudah peranan sang ibu. Itulah sebabnya Islam mengusahakan terjaminnya belanja hidup sang ibu, agar ia tidak usah bekerja di luar rumah.”
Kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Quthb, dalam sebuah ceramahnya puluhan tahun silam mengatakan,
“Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.”
Peran ibu dalam sejarah islam
Maka itu dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana peran ibu memiliki porsi terbesar dibalik tumbuh kembangnya seorang anak menjadi ulama kelas dunia.
Imam Syafi’i dan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah misalnya, Imam Syafi'i terlahir dalam keadaan yatim, ayahnya meninggal dunia pada saat ia masih dalam kandungan. Ia dibesarkan oleh ibunda yang sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari dosa. Ibunda Imam Syafi'i adalah seorang wanita yang sangat wara', yang sangat berhati-hati untuk tidak mendekati hal-hal syubhat sekalipun. Berkat kesucian dirinya yang sangat terjaga, Allah pun banyak mengabulkan doa dan harapan sang ibu. Salah satunya adalah do'anya yang tak pernah putus agar putranya menjadi ahli agama.
Imam Syafi'I dibesarkan oleh seorang ibu yang begitu sabar. Ketiadaan suami tidak membuat Ibunda Imam Syafi’i menyerah pada keadaan dan melupakan hak seorang anak untuk mendapatkan pendidikan terbaik dalam bidang agama.
Kemiskinan pun tidak lantas membuatnya sungkan “melobi” seorang guru di al-kuttab (Sekolah Mengahafal Qur’an) untuk curhat bahwa dirinya tidak memiliki biaya bagi sekolah Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i lantas betul-betul memanfaatkan momen belajar yang telah dibuka oleh ketegaran seorang ibu. Bayangkan, Imam Syafi’i sudah hafal Qur’an sejak kecil dan di umur 15 tahun telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Subhanallah. Tanpa kehadiran seorang ibu, mungkin saat ini kita hanya mengenal nama Imam Syafi’i sebagai orang biasa, bukan ulama besar fiqh yang kini menjadi Imam Madzhab.
Tak jauh dengan Imam Syafi'i, muridnya yang bernama Imam Ahmad bin Hanbal tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim, tiga tahun setelah kelahirannya, ayahnya, Muhammad bin Hanbal, wafat. Sejak saat itu, Ahmad bin Hanbal dibesarkan oleh Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy. Ibunya berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah.
Meskipun hidup dalam keadaan yatim dan dalam lingkungan keluarga yang miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang shalihah, sejak kecil Imam Ahmad telah memulai riwayat pendidikannya. Dalam suasana serba kekurangan, beliau gigih menuntut ilmu, sehingga dalam usia 14 tahun beliau telah menghafal Al-Qur’an keseluruhannya. Karena kecintaannya yang mendalam terhadap ilmu, beliau memulai safari ilmiahnya sejak berusia 16 tahun. Beliau pergi ke Makkkah, Madinah, Syam, Yaman, Basrah dan negara-negara lain untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi..
Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Selain Ibu dari kedua imam besar tersebut, kisah Imam Bukhari sebagai imam besar dibidang hadist bersama ibunya pun patut dicontoh.
Di masa kecilnya, Imam Bukhari menderita penyakit buta mata, sehingga ia tak dapat menikmati kegembiraan seperti layaknya anak lain. Ibunya sangat sedih akan nasib anaknya tersebut, namun tak pernah lelah berharap kepada Allah Subhanaahu wa ta'ala agar bisa lulus dari ujian penyakit itu. Setiap malam sang Ibu rajin melaksanakan shalat tahajjud, dengan permohonan khusus tak henti-hentinya agar Allah menyembuhkan penyakit Bukhari kecil. Berkat kesabarannya berdoa dan keyakinannya yang kuat akan bantuan Allah, akhirnya Allah pun mengabulkan permohonannya dan memberikan kesembuhan sehingga Bukhari bisa melihat kembali. Kesembuhan yang kelak mengantarnya menjadi perawi hadits terpercaya.
Para ulama dan imam besar, umumnya mampu menghafal al-Qur'an di usia sangat belia. Keberhasilan seperti ini tak akan mungkin tercapai tanpa peran orang tua yang serius mendidik mereka sedari dini, khususnya ibu yang sangat dekat dengan anak-anaknya.
Sayyid Quthb pun demikian. Ketika ditanya tentang masa kecilnya, Ulama Mesir itu hanya bisa berujar, “Setiap aku bermain, tidak ada suara yang kudengar selain tilawah Qur’an yang dibawa oleh ibuku”. Ibu seperti itulah yang melahirkan generasi penghafal qur’an dan generasi berperadaban, baik Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Aminah Quthb, Hamidah Quthb.
Konsep Ibu yang paralel dengan pembinaan generasi berperadaban inilah yang tidak kita temui dalam agama-agama lainnya, seperti Yahudi maupun Kristen. Mereka memang berbicara tentang perempuan, tapi bukan perempuan yang melahirkan peradaban. Sedangkan Islam mengajarkan dan menempatkan perempuan sebagai seorang ibu mulia yang melahirkan generasi emas pembangun peradaban.
* Di tulis dalam rangka mengisi kolom di buletin Sayyidul Ayyam edisi VI terbitan PPI Maroko.
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah meninggalkan tilasan disini.