20 Feb 2013

Dialog Agama; antara Akidah dan Toleransi


Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral (Photo: http://ocieyzoet.blogspot.com)
Sesungguhnya perbedaan manusia dalam beragama dan akidah adalah sunnah (hukum) yang telah di tetapkan oleh Allah ta’ala dengan tujuan dan hikmah yang besar sebagai ujian dan cobaan.
Allah ta’ala telah berfirman : “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berbeda, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. ( Q.S. Hud ; 118-119).  
Yang dimaksud dengan berbeda disini adalah berbeda dalam agama, dan bukan perbedaan dalam warna kulit, bahasa, bangsa dan lainnya. Dan perbedaan yang paling mendasar antar agama adalah perbedaan antara umat muslim dan ahli kitab (yahudi dan nasrani).
Sejak diutusnya Nabi Muhammad saw. dan para sahabat yang mengikuti risalah islamnya hingga akhir zaman ketika turunnya nabiyullah ‘Isa ‘alaihissalam, perbedaan itu akan tetap terjadi, Allah ta’ala berfirman : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". (Q.S. Al Baqarah ; 120)
Kristen dan dialog
Pada saat sekarang ini dan khususnya sejak pertengahan abad terakhir setelah Konsili Vatikan II (1962 - 1965 M), muncul perkembangan baru dalam metode penyebaran dan pengajaran agama kristen, sebuah kristenisasi di bawah jubah dialog dan perbaikan hubungan serta kerjasama mengenai isu-isu umum antar agama.
Metode baru ini, yakni kristenisasi dengan berdialog, bertujuan untuk memperbaiki kristenisasi setelah kekalahannya dari ajaran sekuler dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena masyarakat barat telah membayangkan hal-hal yang negatif tentang Gereja pada abad pertengahan dan renaissance (pencerahan) serta era modern, sehingga membuat dunia barat menjadi terbuka seperti sekarang. Dan agama dianggap sebagai ancaman bagi gereja di masa depan, terutama dengan peningkatan  masuknya orang-orang kristen ke dalam ajaran islam.
Dialog dalam Islam
Pada masa-masa sebelumnya, ulama-ulama islam belum pernah  berurusan dengan agama lain kecuali untuk berdakwah dan berjihad menyebarkan kalimat tauhid. Sebagaimana yang diajarkan dalam kitab suci Al-Quran yang menghendaki Nabi dan pengikutnya menyampaikan dan menyuarakan Islam lewat argumentasi, hikmah, dialog, dan debat dalam cara terbaik, entah kepada kaum Muslim sendiri maupun kepada kaum diluar pemeluk Islam. Ini sesuai dengan firman-Nya: “Serulah (manusia) pada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. Al-Nahl : 125).
Atau pada firman-Nya yang lain; “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”. (QS. al-Ankabut: 46).
Dari dua ayat diatas mengungkapkan strategi dakwah agama Islam yang dilandasi argumentasi, dalil, dan debat terbaik. Bahkan, kalangan ahli tafsir menjelaskan bahwa debat terbaik (jidal ahsan) merupakan dialog peradaban atau debat dalam semangat persaudaraan, kelembutan, jauh dari ucapan kotor dan cacimaki.
Metode Dialog Agama
Sebelum masuk lebih dalam lagi tentang pendekatan yang tepat (almanhaj asshahih) seputar dialog antar agama, agar slogan "dialog antar agama" tidak terbebani dengan banyaknya makna dan ideologi palsu sehingga membuat pikiran setiap orang yang mendengarnya menjadi berpandangan negatif, maka perlu adanya pembedaan dalam pokok pembahasan antara tujuan asli dari dialog agama dengan sesempilan yang ikut terbawa dari urusan dunia. Karena pada saat ini, fakta menunjukan bahwa lembaga-lembaga Islam yang ada sekarang lebih didasarkan pada pendekatan dialog yang bertentangan dengan pendekatan rabbani. Yaitu pendekatan yang telah diajarkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Agar lebih jelasnya, bahwa dialog dengan non-muslim terbagi menjadi dua bidang:
1) Dialog dalam hal duniawi, dan ini disebut juga negosiasi kebijakan yang masih dalam ketentuan Islam, seperti dalam perdamaian dan perjanjian dan penanganan terkait masalah duniawi, dan tidak ada hubungan yang berkaitan seputar akidah dan agama, Hal  ini dimaksudkan untuk hidup berdampingan dengan damai dan tentram dengan saling menghormati.
2) Dialog mengenai masalah-masalah agama, yaitu dialog dalam hal agama dan konsep iman dan isu-isu yang menjadi perbedaan, seperti tauhid dan iman dan hari kebangkitan, dan lain sebagainya.
Jika dialog dalam hal-hal duniawi tidak memerlukan pembuktian dan pembenaran, maka dialog dalam masalah-masalah agama ini, memerlukan pemahaman dan penguatan dari dalil-dalil yang kuat baik dari segi akli (akal) maupun nakli (al-quran dan as sunnah shahihah).
Dengan adanya pembedaan semacam ini, sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pembahasan dialog agama, sehingga berjalan dengan baik dan mampu menghasilkan  sesuai tujuan.
Tujuan dari dialog agama tidak lain adalah untuk memperlihatkan dan membuktikan kebenaran Islam itu sendiri, sehingga pengikut agama lain, berdasarkan intuisi dan pengetahuan, dapat melangkah ke jalan yang lurus dan benar dengan tidak memberikan ruang untuk bernegossiasi dalam masalah akidah dan iman. Namun, pada saat yang sama, Islam tetap percaya bahwa ruang dialog itu tetap terbuka sekalipun tidak meninggalkan hasil yang diinginkan, yakni pelaku dialog tetap berpegang teguh kepada ajaran agamanya masing-masing.
Hal ini sekaligus untuk menyanggah pernyatan Dr. Mariam Ait Ahmed yang mengatakan “Dialog agama, yang mana para pemuka agama atau pakarnya saling bertemu untuk bertukar pendapat dengan metode yang tepat tentang kepercayaan agama mereka. Dengan saling menghormati satu sama lain.”1.
Karena dalam akidah dan kepercayaan tidak ada tawar menawar dan bertukar satu sama lain, sebagaimana yang telah di contohkan oleh Rasulullah dalam menghadapi kafir Quraisy.
Asbabun nuzul surah Al Kafirun
Telah diriwayatkan bahwa Walid bin Mugirah, ‘As bin Wail As Sahmi, Aswad bin Abdul Muttalib dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-pembesar Quraisy datang menemui Nabi SAW. menyatakan, “Hai Muhammad! Marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu dan engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engkau telah bersekutu pula bersama-sama kami dan engkau akan mendapat bagian pula daripadanya”. Beliau menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutukan-Nya”. Lalu turunlah surah Al Kafirun sebagai jawaban terhadap ajakan mereka.
Kemudian Nabi SAW pergi ke Masjidilharam menemui orang-orang Quraisy yang sedang berkumpul di sana dan membaca surah Al Kafirun, maka mereka berputus asa untuk dapat bekerja sama dengan Nabi SAW. Sejak itu mulailah orang-orang Quraisy meningkatkan permusuhan mereka ke pada Nabi dengan menyakiti beliau dan para sahabatnya, sehingga tiba masanya hijrah ke Madinah.
”Lakum Diinukum Waliya Diin” Ayat pamungkas yang merupakan ringkasan dan kesimpulan seluruh kandungan surat Al-Kaafirun, secara umum semakna dengan firman Allah yang lain dalam QS. Yunus [10]: 41, dan mungkin juga QS. Al-Qashash [28]: 55, serta yang lainnya. Dimana semuanya berintikan pernyataan dan ikrar ketegasan sikap setiap orang beriman terhadap setiap orang kafir, tanpa adanya sedikitpun toleransi, kompromi dan pencampuran, jika terkait secara khusus tentang masalah dan urusan agama masing-masing, yakni yang meliputi aspek aqidah, ritual ibadah dan hukum.
Namun demikian dari sisi yang lain, jika kita renungkan, surat inipun dari awal sampai akhir, sebenarnya juga mengandung makna sikap toleransi Islam dan kaum muslimin terhadap agama lain dan pemeluknya. Yakni berupa sikap pengakuan terhadap eksistensi agama selain Islam dan keberadaan penganut-penganutnya. Meskipun yang dimaksud tentulah sekadar pengakuan terhadap realita, dan sama sekali bukan pengakuan pembenaran.
Dan diperbolehkan untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam berbagai bidang kehidupan umum, Sebagaimana tersirat dalam Al Quran surah Luqman ayat 15 yang artinya; “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. QS [60]: 8
Dan pada surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah ta’ala berfirman : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.”

*Burhan Ali, Lc, Mahasiswa Universitas Hassan II – Casablanca, pada program Master jurusan "Akidah dan Agama-agama di Gharb Al Islam dan Pengaruhnya dalam Dialog”
**Artikel untuk mengisi buletin bulanan Sayyidul Ayyam - PPI Maroko edisi Februari 2013.
Sumber:
 

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah meninggalkan tilasan disini.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes