2 Jan 2010

Muhasabatun nufus (Introspeksi diri)


Kesucian dan kebersihan jiwa tergantung pada muhasabahnya. Al Hasan Al Bashri berkata; “Sesungguhnya, orang mukmin itu -demi Allah- kamu tidak menyaksikannya, kecuali sedang mengawasi dirinya sendiri. Apa yang saya maksudkan dengan ucapan ini? Apa yang saya inginkan dengan makan ini? Apa yang saya inginkan dengan masuk ke sini atau keluar dari sini? Apa urusan saya dengan ini? Demi Allah, saya tidak kembali kesini? atau sejenis ucapan ini..." Maka dengan muhasabah seseorang itu bisa mengetahui aib dan kekurangannya, hingga ia mampu berusaha dalam memperbaikinya.”

Muhasabah ada dua macam
* Muhasabah sebelum beramal.
Yaitu berpikir dan merenung ketika ada kehendak dan semangat; dan tidak segera beramal, kecuali setelah menjadi jelas keutamaannya dibanding dengan meninggalkannya.
* Muhasabah setelah selesai beramal. Ini meliputi,
- Muhasabah mengenai ketaatan yang belum dikerjakan secara sempurna.
- Muhasabah mengenai perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan (tidak dikerjakan)
- Muhasabah mengenai perkara mubah / biasa, mengapa mengerjakannya? Apakah hal itu dimaksudkan untuk Allah, kehidupan akhirat, ataukah dunia?
Mutiara-mutiara hikmah dari para ulama' mengenai muhasabah
Sesungguhnya pemerhati masalah ini melihat adanya kelalaian dan banyak kekurangan pada diri kita dalam muhasabah an nufus. Bahkan banyak di antara kita yang sibuk dengan aib orang lain; suatu perbuatan yang melahirkan sikap 'ujub (takjub dengan diri sendiri), takabur (merasa besar sendiri, sombong), dan ghurur (tertipu dengan diri sendiri).

Sebagian salaf berkata, “Engkau tidak akan menjadi faqih (orang yang mengerti) sebenar-benarnya sebelum kamu membenci (aib yang ada pada) manusia karena Allah, kemudian kamu merefleksikan pada dirimu sendiri, hingga kamu lebih membencinya. ”
Umar Al Faruq berkata, “Cukuplah dosa seseorang, apabila aib yang ada pada seseorang menjadi jelas baginya.Sementara ia tidak tahu, bahwa aib itu ada pada dirinya sendiri, dan ia membenci orang-orang karena itu. ”
Hasan Bashri (110H) berkata, “Wahai putra Adam, kamu tidak akan menggapai hakikat iman, sehingga kamu tidak mencela orang lain dengan aib yang juga ada pada dirimu, hingga kamu mulai mengobati aib tersebut dari dirimu. Jika kamu sudah melakukan hal itu dalam dirimu, maka kamu tidaklah memperbaiki suatu aib, melainkan kamu mendapatkan aib lain yang belum kamu perbaiki. Jika kamu telah melakukan hal itu, maka kesibukanmu adalah mengurusi dirimu sendiri. Sesungguhnya hamba yang paling dicintai oleh Allah adalah yang seperti itu. ”
Rabi' Ibn Khutsaim (wafat sebelum tahun 65H) ditanya, "Mengapa kamu tidak menyebut manusia?" Ia menjawab, "Saya belum rela dengan seluruh yang ada pada diri saya, sehingga saya tidak punya waktu luang untuk menggunjing orang lain. Sesungguhnya manusia itu takut kepada Allah tentang dosa-dosa orang lain, sedangkan mereka tidak merasa takut atas dosa-dosanya sendiri. ”
Maimun Ibn Mihran (wafat 117H) berkata, “Seseorang tidak masuk golongan muttaqin, hingga ia mengevaluasi dirinya sendiri lebih detail daripada mengevaluasi mitra (sekutu) nya (dalam usaha), sehingga ia tahu dari mana makanannya, dari mana pakaiannya, dari mana minumannya, apakah dari halal ataukah haram. ”
Aun Ibn Abdillah (wafat 117H) berkata, “Saya kira, setiap orang yang sibuk dengan aib orang lain ialah dikarenakan ghaflah, lalai dari dirinya sendiri. ”
Bakr Ibn Abdillah (wafat 108H) Al Muzani berkata, “Jika kamu melihat seseorang sibuk mengurusi aib orang lain dan merupakan aibnya sendiri, maka pastikan bahwa ia telah tertipu.” 
Sariy As Saqathi (253H) berkata, "Termasuk pertanda istidraj (diulur-ulur adzab untuknya), yaitu buta dari aibnya sendiri."
Abu Utsman Al Hiri (wafat 298H) berkata, “Rasa takut dari Allah akan mengantarkanmu kepadaNya, sedangkan 'ujub akan memutuskanmu kepadaNya, sedangkan menganggap manusia rendah dalam dirimu, merupakan penyakit yang tidak terobati. ”
Ahmad Ibnu Ashim Al Anthaki (wafat 230-an) berkata, "Sikap shidq (jujur) yang paling bermanfaat, yaitu pengakuan kepada Allah tentang aib-aibmu." Kemudian dia berkata, "Tutuplah jalan 'ujub dengan mengenal dirimu."

Demikian baris-baris hikmah ini, semoga Allah mensucikan diri kita, karena Dialah sebaik-baik yang mensucikan. Dialah pemiliknya dan Tuannya.

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah meninggalkan tilasan disini.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes