7 Mei 2011

Hidayah di Akhir Tahun 2007


Pada suatu hari, senin siang, datang seorang perempuan diplomat muda yang sedang magang di KBRI Belanda mengetok pintu kamar saya tanpa melalui sekretaris dubes dan meminta ijin untuk berbicara. Hal seperti ini tidak lazim bagi seorang diplomat muda begitu saja tanpa prosedur  meminta berbicara dengan seorang duta besar. Meskipun tidak senang, entah mengapa melihat keberanian diplomat perempuan muda berjilbab ini, saya pun menerima dia dan persilahkan duduk.

Setelah duduk berhadapan lalu saya bertanya, "Ada apa?", dia menjawab, "Pak dubes, pak dubes telah mendapat limpahan rezeki  Alloh SWT dan keluarga yang bahagia. Bapak juga diberikan pangkat, derajat serta harta yang berkecukupan oleh Alloh SWT. Tapi bapak mempunyai hutang kepada Alloh SWT". Saya terperangah mendengar  ucapannya, lalu kembali bertanya, "Apa maksudmu?".

Kemudian dia menerangkan bahwa saya mempunyai hutang 3 menit untuk sholat subuh, 3 menit untuk sholat dzuhur, 3 menit untuk sholat ashar, 3 menit untuk sholat maghrib, dan 3 menit untuk sholat isya. "Hanya 15 menit dalam satu hari pak dubes, yaitu sholat", tambahnya. Saya kaget, beraninya seorang junior mengatakan itu kepada saya. Dengan sikap yang kurang berkenan saya katakana, "Sudah selesai?". Dengan tenang, diplomat muda berjilbab yang kemudian saya tahu bernama Elisabeth Dewi, mengangguk hormat dan pamit keluar dari kamar saya. 

Entah mengapa, setelah dia keluar, saya panggil pengawal Kapten Usman, saya perintahkan dia cari tahhu arah kiblat dikamar kerja. Agak tercengang dan tidak percaya Usman mendengarkan perintah "aneh", hingga dua kali saya ulangi perintah kepadanya, "Cari arah kiblat" . Pengaawal segera keluar ruangan, mencari tahu arah kiblat, dan tidak lama kemudian dating kembali menunjukan arah kiblat. Lalu saya perintahkan pengawal untuk memmbuka sepatu dan kaos kaki saya. Dengan sikap ragu-ragu dia bertanya, "Ada apa pak dubes?". Agak sedikit marah melihat sikapnya, saya jawab pertanyaannya, "Saya mau ambil wudhu, karena saya mau sholat. Ini kan waktu lohor". Kapten usman segera melakukan perintah saya, dan sholat-lah saya. Syukur Alhamdulillah, sejak saat itu saya kembali secara teratur sholat lima waktu.

Pada hari jumat pagi, di minggu yang sama, dating kembali Dewi ke kamar saya dan meminta ijin berbicara lagi. Dengan nada agak kurang berkenan saya bertanya, "Ada apa  lagi Dewi?". Ia menjawab, "Pak dubes. Saya senang pak dubes sudah teratur sholat, karena saya melihat setiap hari pak dubes dengan terut sholat lohor dikantor". Lalu kembali saya bertanya, "Dari mana kamu tahu?", dan dijawabnya, "Setiap hari pada waktu sholat lohor, dari balik pintu saya melihat  pak dubes sholat dengan teratur". Rupanya selama ini dia setiap hari melihat saya sholat lohor dari balik pintu penghubung kamar kerja saya dengan ruang rapat besar yang letaknya bersebelahan.

Kemudian dia menambahkan, "Pak dubes. Sabda Rasululloh SAW. Mengatakan barang siapa tiga kali berturut-turut tidak melaksanakan sholat jumat secara berjamaah di masjid, maka pintu surge akan tertutup rapat baginya". Saya merasa terpukul dan mengatakan, "Sudahlah, cerita apa lagi kau ini?". Dia tenang, Dewi mengingatkan "Pak dubes, ini hari jumat pak dubes". Setelah mengatakan itu, iapun pergi.

Siang harinya, saya panggil pengawal dan perintahkan agar menyiapkan kendaraan. Mendengar perintah itu, Kapten Usman bingung dan gugup berkata, "Maaf pak dubes. Bapak tidak ada acara di luar kantor siang ini". Setengah marah saya katakana, "Apa kamu tidak tahu, ini hari jumat.... dan ini waktu sholat Jumat di masjid. Bukakan sepatu, saya mau ambil wudhu untuk sholat jumat". Usman pun hampir tidak percaya, segera membukakan sepatu, lalu meminta John, supir saya yang orang Belanda, menyiapkan kendaraan. Saya segera wudhu dan berangkat kemasjid.

Setibanya di masjid, masyarakat kaget melihat Duta Besar Republik Indonesia datang ke masjid untuk Sholat Jumat. Padahal sudah satu tahun lebih di Belanda, saya belum pernah sekalipun melaksanakan Sholat Jumat di Masjid, dan ini baru pertama kali.

Pulang dari  masjid, saya  panggil Dewi ke ruangan kerja. Saat saya sudah duduk saya bertanya, "Dewi, nama kamu kenapa memakai Elisabeth?". Dia menjelaskan, "Saya dibesarkan sampai umur 12 tahun dengan agama Katholik, tetapi atas kehendak sendiri saya masuk ke Gontor  walau belum bisa membaca Qur'an. Alhamdulillah pak dubes, saya bisa menyelesaikan pendidikan di Gontor dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S1 di Malaysia". Lalu saya katakana padanya, "Mulai hari ini, saya ubah namamu menjadi Gontor." Yaaaah, Dewi Gontor. Banyak perempuan  bernama Dewi, tapi Cuma satu Dewi yang telah menyadarkan saya untuk sholat, yaitu Dewi Gontor. Terima kasih Gontor.

Alhamdulillah sejak saat itu, dengan segala kekurangan, saya selalu berusaha pergi ke masjid untuk Sholat Jumat. Pengurus masjid yang mengetahui masalah pada lutut saya, yang tidak bisa melakukan ruku' dan sujud, selalu menyiapkan kursi agar saya bisa menjalankan Sholat  Jumat berjamaah. Begitu juga dengan sholat lainnya, saat di rumah atau di kantor, saya melakukan sholat sambil duduk di bangku.

Mieke, yang saat itu sudah berada di Jakarta, dengar dari orang-orang bahwa saya sudah mulai sholat, member komentar, "Alhamdulillah, kita semua tidak bisa menyadarkan Fanny untuk melaksanakan sholat, sekaliipun saya, istrinya. Bahkan bapak Jendral AH. Nasution tidak berhasil menggerakkan Fanny untuk sholat".  Mieke, yang saat ituu dedang sakit, juga menambahkan, "Saya sekarang bahagia."

Dewi Gontor yang selama 6 bulan magang di KBRI Den Haag dan kursus di Clingendael, sempat pulang ke Indonesia untuk kursus bahasa di Eramus Huis, Kuningan – Jakarta. Mengetahui akan kembali ke Belanda, Mieke member amanah kepada Gontor untuk membimbing saya mengaji dan membawakan sebuah buku iqro dengan beberapa lembar huruf arab dasar yang fotocopy-nya  diperbesar dan delaminating, agar mempermudah saya melihat dan membaca huruf arab tersebut. Saat tidak ada kegiatan diakhir pekan, saya meminta Gontor bermalam di Wisma Duta untuk membimbing saya mengaji, seperti amanah Mieke.

Saya bersyukur. Di usia yang sudah lanjut, saya masih diberi kesempatan untuk kembali melaksanakan perintah Alloh, menjalankan sholat lima waktu.  Walau saat kecil dulu saya mendapatkan pendidikan agama yang ketat dari ayah, rupanya seiring perjalananwaktu proses pendewasaan, saya mulai melupakan ajaran ayah. Segala nikmat yang saya peroleh, terutama nikmat keluarga , membuat saya malu di hadapan Alloh untuk tidak melaksanakan perintah-Nya. Melihat anak dan menantu saya yang saling rukun  satu sama lain  dan rukun dengan Mieke hingga diakhir hidupnya, anugerah cucu-cucu yang sehat, baik dan sopan serta saling menjaga hubungan kakak beradik, merupakan karunia yang tidak dapat dibeli dengan harta sebesar apapun.

Hingga kini, saya selalu berusaha memperbaiki diri dengan siraman agama. Memohoon agar selalu dibimbing Alloh untuk dapat memimpin keluarga dan KBRI Den Haag sebaik mungkin, dan tenttunya menjadi imam yang baik untuk diri saya sendiri. Hikmah yang saya dapat dari sholat,, sekarang saya jauh lebih sabar, lebih pasrah, dan mendapatkan ketenangan batin menjalani hidup seorang diri, seperginnya Mieka. Semoga Alloh selalu menuntun saya di jalan yang benar.

Hingga kini hubungan saya dengan Gontor masih dekat, walau dia sudah lama kembali ke Indonesia. Gontor, yang sudah saya anggap seperti anak sendiri, sering mengisi sms yang isinya mengingatkan untuk tidak lupa melaksanakan sholat lima waktu. Saya betul-betul bersyyukur kepada Alloh SWT. Telah mempertemukan dengan Gontor, sebagai perantara saya menemukan hidayah ini. 


Sumber: disadur dari sebuah buku Autobiografi Junus Effendi Habibie "Perjalanan putera Labukang Parepare menuju Koninklijke Huis van Oranje, Paleis Noordeinde" di terbitkan oleh THC Mandiri, edisi kedua 2009.

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah meninggalkan tilasan disini.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes