2 Des 2012

Akhir dari Sebuah Dosa Bab. 1


Allah swt. telah mengisahkan bagaimana menghancurkan kaum terdahulu karena diakibatkan dosa-dosa mereka, maka selayaknya kita mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah-kisah kaum terdahulu yang telah binasa, ditimpa azab dan bencana. Allah swt. berfirman:

 “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamakaan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamakaan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-Ankabuut [29] : 40).

Ada banyak akibat yang ditimbulkan dosa terhadap manusia, baik itu pada hatinya, maupun pada bentuk bencana-bencana yang dialami manusia. Hal ini mengingatkan kepada kita agar sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan kita, bahwa dosa-dosa akan membawa pengaruh buruk dan mengakibatkan kerusakan bahkan kebinasaan kepada manusia.

Dosa dapat membuat hati keras dan buta dari kebenaran, akan menutup pintu hati dari melihat kebenaran dan membuatnya terbalik dalam menilai.

Setiap satu dosa yang dilakukan tanpa bertaubat itu akan menyebabkan terjadinya satu titik hitam pada hati. Itu baru satu dosa. Maka bayangkanlah bagaimana pula kalau sepuluh dosa? Seratus dosa? Seribu dosa? Alangkah hitam dan kotornya hati ketika itu.

Perkara ini jelas digambarkan dalam hadis Rasulullah bermaksud: "Siapa yang melakukan satu dosa, maka akan tumbuh pada hatinya setitik hitam, sekiranya dia bertaubat akan terkikislah titik hitam itu daripada hatinya. Jika dia tidak bertaubat, maka titik hitam itu akan terus merebak hingga seluruh hatinya menjadi hitam." (HR. Ibn Majah).

Hadis ini selaras dengan firman Allah yang artinya "Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka (karena dosa)." (QS. Al-Muthaffifiin, ayat 14).

Hati yang kotor dan hitam akan menjadi keras. Apabila hati keras, kemanisan dan kelezatan beribadah tidak dapat dirasakan. Ia akan menjadi penghalang kepada masuknya nur iman dan ilmu. Belajar sebanyak mana pun ilmu yang bermanfaat atau ilmu yang boleh memandu kita, namun ilmu itu tidak akan masuk ke dalam hati, kalau pun kita faham, tidak ada daya dan kekuatan kita untuk mengamalkannya.

Allah berfirman yang bermaksud "Kemudian selepas itu, hati kamu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Pada hal antara batu-batu itu ada yang terpancar dan mengalir sungai daripadanya, dan ada pula antaranya yang pecah-pecah terbelah lalu keluar mata air daripadanya. Dan ada juga antaranya yang jatuh ke bawah karena takut kepada Allah sedang Allah tidak sekali-kali lalai daripada apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Baqarah, ayat 74).

Begitulah Allah mendatangkan contoh dan menerangkan bahwa batu yang keras itu pun ada kalanya bisa mengalirkan air dan bisa terpecah karena amat takut pada Allah.

Oleh itu, apakah hati manusia lebih keras daripada batu hingga tidak bisa menerima petunjuk dan hidayah daripada Allah.

Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu menyebuntukan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa, diantaranya:

1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati sementara maksiat akan memadamakaan cahaya.

Tatkala Imam Syafi’i rahimahullahu belajar kepada Imam Malik rahimahullahu, Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Syafi’i. Imam Malik pun berpesan pada murid ini “Aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. maka janganlah engkau padamakaan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah bersajak:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ نور
وَ نور اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ للمعَاصِ

“Aku mengeluhkan jelek hafalanku kepada Waki’
Maka ia memberi bimbingan kepadaku agar meninggalkan maksiat
Ia berkata “Ketahuilah ilmu itu merupakan cahaya
dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.”1

2. Terhalang dari rizki dan urusan dipersulit.
Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:

وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar dan memberi rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”

وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan bagi kemudahan dalam urusannya.”
Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

3. Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya sebagaimana jauh pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekat dengan setan.

4. Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelap malam. Karena ketaatan adalah cahaya sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah kesesatan dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.

Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tanda di mata si hamba. Terus demikian hingga tampak di wajah yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.

5. Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh Karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hati semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa sekalipun badan tampak kuat namun sebenar ia selemah-lemah manusia.

6. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahan sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya. Mengapa demikian? Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hati hidup. Sementara orang yang hati mati walaupun masih berjalan di muka bumi hakikat ia telah mati. Oleh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan orang non muslim adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:

أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ

“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.”

Dengan demikian kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti umur tidak lain adalah waktu-waktu kehidupan yang dijalani Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menghadap kepada-Nya mencintai-Nya mengingat-Nya dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu tidaklah terhitung sebagai umurnya.

Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat berarti hilanglah hari-hari kehidupan yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:

يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Aduhai kira dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.”

7. Satu maksiat akan mengundang maksiat lain sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf: “Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelaku akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata ‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungan kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan.”

8. Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat hingga pada akhir keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.

9. Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat hati tidak lagi merasakan jelek perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.

Bila sudah seperti ini model seorang hamba ia tidak akan dimaafkan sebagaimana berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَََّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosa kecuali orang2 yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukan tersebut, namun di pagi hari ia berkata pada orang lain “Wahai Fulan tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabb menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan Allah yang menutupi dirinya.”

10. Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth. Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan mengurangi adalah warisan kaum Syu’aib. Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.

11. Maksiat merupakan sebab dihinakan seorang hamba oleh Rabbnya. Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.

وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ

“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.”

Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormati Karena kebutuhan mereka terhadap atau mereka takut dari kejelekan namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.

12. Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa pada akhir ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggap kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam Bukhari rahimahullahu dalam Shahihnya- menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا

“Seorang mukmin memandang dosa-dosa seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakuntukan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosa seperti seekor lalat yang lewat di atas hidung ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”



==========================================================
Sucikanlah 4 hal dengan 4 perkara :
"Wajahmu dengan linangan air mata keinsafan, Lidahmu basah dengan berzikir kepada Penciptamu, Hatimu takut dan gementar kepada kehebatan Rabbmu, ..dan dosa-dosa yang silam di sulami dengan taubat kepada Dzat yang Memiliki mu."



0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah meninggalkan tilasan disini.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes