2 Des 2012
Akhir dari Sebuah Dosa Bab. 1
16.37.00
Burhan Ali
No comments
Allah swt. telah mengisahkan
bagaimana menghancurkan kaum terdahulu karena diakibatkan dosa-dosa mereka,
maka selayaknya kita mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah-kisah kaum
terdahulu yang telah binasa, ditimpa azab dan bencana. Allah swt. berfirman:
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa
disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya
hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang
mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamakaan ke dalam bumi, dan di
antara mereka ada yang Kami tenggelamakaan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-Ankabuut [29] : 40).
Ada banyak akibat yang ditimbulkan
dosa terhadap manusia, baik itu pada hatinya, maupun pada bentuk
bencana-bencana yang dialami manusia. Hal ini mengingatkan kepada kita agar
sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan kita, bahwa dosa-dosa akan membawa
pengaruh buruk dan mengakibatkan kerusakan bahkan kebinasaan kepada manusia.
Dosa dapat membuat hati keras dan
buta dari kebenaran, akan menutup pintu hati dari melihat kebenaran dan
membuatnya terbalik dalam menilai.
Setiap satu dosa yang dilakukan
tanpa bertaubat itu akan menyebabkan terjadinya satu titik hitam pada hati. Itu
baru satu dosa. Maka bayangkanlah bagaimana pula kalau sepuluh dosa? Seratus
dosa? Seribu dosa? Alangkah hitam dan kotornya hati ketika itu.
Perkara ini jelas digambarkan dalam
hadis Rasulullah bermaksud: "Siapa yang melakukan satu dosa, maka akan tumbuh
pada hatinya setitik hitam, sekiranya dia bertaubat akan terkikislah titik
hitam itu daripada hatinya. Jika dia tidak bertaubat, maka titik hitam itu akan
terus merebak hingga seluruh hatinya menjadi hitam." (HR. Ibn Majah).
Hadis ini selaras dengan firman
Allah yang artinya "Sekali-kali tidak
(demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka
(karena dosa)." (QS. Al-Muthaffifiin, ayat 14).
Hati yang kotor dan hitam akan
menjadi keras. Apabila hati keras, kemanisan dan kelezatan beribadah tidak
dapat dirasakan. Ia akan menjadi penghalang kepada masuknya nur iman dan ilmu.
Belajar sebanyak mana pun ilmu yang bermanfaat atau ilmu yang boleh memandu
kita, namun ilmu itu tidak akan masuk ke dalam hati, kalau pun kita faham,
tidak ada daya dan kekuatan kita untuk mengamalkannya.
Allah berfirman yang bermaksud
"Kemudian selepas itu, hati kamu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih
keras lagi. Pada hal antara batu-batu itu ada yang terpancar dan mengalir
sungai daripadanya, dan ada pula antaranya yang pecah-pecah terbelah lalu
keluar mata air daripadanya. Dan ada juga antaranya yang jatuh ke bawah karena
takut kepada Allah sedang Allah tidak sekali-kali lalai daripada apa yang kamu
kerjakan." (QS Al-Baqarah, ayat 74).
Begitulah Allah mendatangkan contoh
dan menerangkan bahwa batu yang keras itu pun ada kalanya bisa mengalirkan air
dan bisa terpecah karena amat takut pada Allah.
Oleh itu, apakah hati manusia lebih
keras daripada batu hingga tidak bisa menerima petunjuk dan hidayah daripada
Allah.
Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim
Al-Jauziyyah rahimahullahu menyebuntukan secara panjang lebar dampak negatif
dari dosa, diantaranya:
1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena
ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati sementara maksiat akan
memadamakaan cahaya.
Tatkala Imam Syafi’i rahimahullahu
belajar kepada Imam Malik rahimahullahu, Imam Malik terkagum-kagum dengan
kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Syafi’i. Imam Malik pun berpesan pada
murid ini “Aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu
di hatimu. maka janganlah engkau padamakaan cahaya tersebut dengan kegelapan
maksiat.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
pernah bersajak:
شَكَوْتُ إِلَى
وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي
فَأَرْشَدَنِي
إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ
بِأَنَّ الْعِلْمَ نور
وَ نور اللهِ
لاَ يُؤْتاَهُ للمعَاصِ
“Aku mengeluhkan jelek hafalanku
kepada Waki’
Maka ia memberi bimbingan kepadaku
agar meninggalkan maksiat
Ia berkata “Ketahuilah ilmu itu
merupakan cahaya
dan cahaya Allah tidak diberikan kepada
orang yang berbuat maksiat.”1
2. Terhalang dari rizki dan urusan
dipersulit.
Takwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana
firman-Nya:
وَ مَنْ
يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar dan memberi rizki
dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”
وَمَنْ يَّتَّقِ
اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah menjadikan bagi kemudahan dalam urusannya.”
Meninggalkan takwa berarti akan
mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.
3. Hati terasa jauh dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya sebagaimana jauh pelaku maksiat
dari orang-orang baik dan dekat dengan setan.
4. Menggelapkan hati si hamba
sebagaimana gelap malam. Karena ketaatan adalah cahaya sedangkan maksiat adalah
kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati akan bertambah pula
kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah kesesatan dan perkara yang
membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di
malam yang gelap dengan berjalan kaki.
Bila kegelapan itu semakin pekat
akan tampaklah tanda di mata si hamba. Terus demikian hingga tampak di wajah yang
menghitam yang terlihat oleh semua orang.
5. Maksiat akan melemahkan hati dan
tubuh Karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat
hati semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa sekalipun badan tampak
kuat namun sebenar ia selemah-lemah manusia.
6. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur
dan menghilangkan keberkahan sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya.
Mengapa demikian? Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh
bila hati hidup. Sementara orang yang hati mati walaupun masih berjalan di muka
bumi hakikat ia telah mati. Oleh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan
orang non muslim adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka
bumi:
أَمْوَاتٌ
غَيْرُ أَحْيَاءٍ
“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak
hidup.”
Dengan demikian kehidupan yang
hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan
kehidupannya. Berarti umur tidak lain adalah waktu-waktu kehidupan yang
dijalani Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menghadap kepada-Nya mencintai-Nya
mengingat-Nya dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu tidaklah terhitung sebagai
umurnya.
Bila seorang hamba berpaling dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat berarti hilanglah
hari-hari kehidupan yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan
baginya:
يَا لَيْتَنِي
قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Aduhai kira dahulu aku mengerjakan
amal shalih untuk hidupku ini.”
7. Satu maksiat akan mengundang
maksiat lain sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan
kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf: “Termasuk hukuman perbuatan
jelek adalah pelaku akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk
balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila berbuat satu
kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata ‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba
melakukan kebaikan yang kedua tersebut maka kebaikan ketiga akan berucap yang
sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungan kian
bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan.”
8. Maksiat akan melemahkan hati dan
secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari
maksiat hingga pada akhir keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.
9. Orang yang sering berbuat dosa
dan maksiat hati tidak lagi merasakan jelek perbuatan dosa. Malah berbuat dosa
telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan
acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.
Bila sudah seperti ini model seorang
hamba ia tidak akan dimaafkan sebagaimana berita dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
كُلُّ أُمَّتِي
مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ
الرَّجُلُ بِاللَََّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ
فيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ
يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan dimaafkan
kesalahan/dosa kecuali orang2 yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan
termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu
dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukan tersebut,
namun di pagi hari ia berkata pada orang lain “Wahai Fulan tadi malam aku telah
melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabb
menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri
tutupan Allah yang menutupi dirinya.”
10. Setiap maksiat yang dilakukan di
muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbuatan homoseksual adalah warisan
kaum Luth. Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak
orang lain dengan mengurangi adalah warisan kaum Syu’aib. Berlaku sombong di
muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Sombong dan
tinggi hati adalah warisan kaum Hud.
11. Maksiat merupakan sebab
dihinakan seorang hamba oleh Rabbnya. Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menghinakan seorang hamba maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.
وَمَنْ يُهِنِ
اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tidak
ada seorang pun yang akan memuliakannya.”
Walaupun mungkin secara zhahir
manusia menghormati Karena kebutuhan mereka terhadap atau mereka takut dari
kejelekan namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah
dan hina.
12. Bila seorang hamba terus menerus
berbuat dosa pada akhir ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggap kecil.
Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap
kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Bukhari rahimahullahu dalam
Shahihnya- menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu:
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ
يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى
أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا
“Seorang mukmin memandang dosa-dosa
seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakuntukan akan jatuh
menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosa seperti seekor
lalat yang lewat di atas hidung ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir
lalat tersebut.”
==========================================================
Sucikanlah 4 hal dengan 4 perkara :
"Wajahmu dengan linangan air mata keinsafan, Lidahmu basah dengan berzikir kepada Penciptamu, Hatimu takut dan gementar kepada kehebatan Rabbmu, ..dan dosa-dosa yang silam di sulami dengan taubat kepada Dzat yang Memiliki mu."
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah meninggalkan tilasan disini.