|
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral (Photo: http://ocieyzoet.blogspot.com) |
Sesungguhnya perbedaan manusia dalam beragama dan akidah adalah
sunnah (hukum) yang telah di tetapkan oleh Allah ta’ala dengan tujuan dan
hikmah yang besar sebagai ujian dan cobaan.
Allah ta’ala telah berfirman : “Jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berbeda,
kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah
menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan:
Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang
durhaka) semuanya”. ( Q.S. Hud ; 118-119).
Yang dimaksud dengan berbeda disini adalah berbeda dalam agama,
dan bukan perbedaan dalam warna kulit, bahasa, bangsa dan lainnya. Dan
perbedaan yang paling mendasar antar agama adalah perbedaan antara umat muslim
dan ahli kitab (yahudi dan nasrani).
Sejak diutusnya Nabi Muhammad saw. dan para sahabat yang mengikuti
risalah islamnya hingga akhir zaman ketika turunnya nabiyullah ‘Isa ‘alaihissalam,
perbedaan itu akan tetap terjadi, Allah ta’ala berfirman : “Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)".
(Q.S. Al Baqarah ; 120)
Kristen dan dialog
Pada saat sekarang ini dan khususnya sejak
pertengahan abad terakhir setelah
Konsili Vatikan II (1962 - 1965
M), muncul perkembangan baru
dalam metode penyebaran dan pengajaran agama kristen, sebuah kristenisasi di
bawah jubah dialog dan perbaikan hubungan serta kerjasama mengenai isu-isu umum antar agama.
Metode baru ini, yakni kristenisasi dengan berdialog, bertujuan untuk memperbaiki kristenisasi setelah kekalahannya dari ajaran sekuler dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena masyarakat barat telah membayangkan hal-hal yang negatif tentang Gereja pada abad pertengahan dan renaissance (pencerahan) serta era modern, sehingga membuat dunia barat menjadi terbuka –
seperti sekarang. Dan agama dianggap sebagai ancaman bagi gereja di masa depan, terutama dengan peningkatan masuknya orang-orang kristen ke dalam ajaran islam.
Dialog dalam Islam
Pada masa-masa
sebelumnya, ulama-ulama islam belum pernah
berurusan dengan agama lain kecuali untuk berdakwah dan
berjihad menyebarkan kalimat tauhid. Sebagaimana
yang diajarkan dalam kitab suci Al-Quran yang menghendaki Nabi dan pengikutnya
menyampaikan dan menyuarakan Islam lewat argumentasi, hikmah, dialog, dan debat
dalam cara terbaik, entah kepada kaum Muslim sendiri maupun kepada kaum diluar
pemeluk Islam. Ini sesuai dengan firman-Nya: “Serulah (manusia) pada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik”. (QS. Al-Nahl : 125).
Atau pada firman-Nya yang lain; “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik”. (QS. al-Ankabut: 46).
Dari dua ayat diatas mengungkapkan
strategi dakwah agama Islam yang dilandasi argumentasi, dalil, dan debat terbaik.
Bahkan, kalangan ahli tafsir menjelaskan bahwa debat terbaik (jidal ahsan)
merupakan dialog peradaban atau debat dalam semangat persaudaraan, kelembutan,
jauh dari ucapan kotor dan cacimaki.
Metode Dialog Agama
Sebelum masuk lebih dalam lagi tentang pendekatan yang tepat (almanhaj asshahih) seputar dialog antar agama, agar slogan
"dialog antar agama" tidak terbebani dengan banyaknya makna dan
ideologi palsu sehingga membuat pikiran setiap orang yang mendengarnya menjadi berpandangan negatif, maka perlu adanya pembedaan dalam
pokok pembahasan antara tujuan asli dari dialog agama dengan sesempilan
yang ikut terbawa dari urusan dunia. Karena pada saat ini, fakta menunjukan
bahwa lembaga-lembaga Islam yang ada sekarang lebih didasarkan pada pendekatan dialog
yang bertentangan dengan pendekatan rabbani. Yaitu pendekatan yang telah
diajarkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Agar lebih jelasnya, bahwa dialog dengan non-muslim terbagi
menjadi dua bidang:
1) Dialog dalam hal duniawi, dan ini disebut juga negosiasi
kebijakan yang masih dalam ketentuan Islam, seperti dalam perdamaian
dan perjanjian dan penanganan terkait masalah duniawi, dan tidak ada
hubungan yang berkaitan seputar akidah dan agama, Hal
ini dimaksudkan untuk hidup
berdampingan dengan damai dan tentram dengan saling menghormati.
2) Dialog mengenai masalah-masalah agama, yaitu dialog dalam hal
agama dan konsep iman dan isu-isu yang menjadi perbedaan, seperti tauhid dan iman dan hari kebangkitan, dan lain sebagainya.
Jika dialog dalam
hal-hal duniawi tidak memerlukan pembuktian dan pembenaran, maka dialog dalam
masalah-masalah agama ini, memerlukan pemahaman dan penguatan dari dalil-dalil
yang kuat baik dari segi akli (akal) maupun nakli (al-quran dan as sunnah
shahihah).
Dengan adanya pembedaan semacam ini, sehingga tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan dalam pembahasan dialog agama, sehingga berjalan
dengan baik dan mampu menghasilkan sesuai tujuan.
Tujuan dari dialog agama tidak lain adalah untuk memperlihatkan
dan membuktikan kebenaran Islam itu sendiri, sehingga pengikut agama lain,
berdasarkan intuisi dan pengetahuan, dapat melangkah ke jalan yang lurus dan
benar dengan tidak memberikan ruang untuk bernegossiasi dalam masalah akidah
dan iman. Namun, pada saat yang sama, Islam tetap percaya bahwa ruang dialog
itu tetap terbuka sekalipun tidak meninggalkan hasil yang diinginkan, yakni
pelaku dialog tetap berpegang teguh kepada ajaran agamanya masing-masing.
Hal ini sekaligus untuk menyanggah
pernyatan Dr. Mariam Ait Ahmed yang mengatakan “Dialog agama, yang mana para
pemuka agama atau pakarnya saling bertemu untuk bertukar pendapat dengan metode
yang tepat tentang kepercayaan agama mereka. Dengan saling menghormati satu
sama lain.”1.
Karena dalam akidah dan kepercayaan
tidak ada tawar menawar dan bertukar satu sama lain, sebagaimana yang telah di
contohkan oleh Rasulullah dalam menghadapi kafir Quraisy.
Asbabun nuzul surah Al Kafirun
Telah diriwayatkan bahwa Walid bin Mugirah, ‘As
bin Wail As Sahmi, Aswad bin Abdul Muttalib dan Umaiyah bin Khalaf bersama
rombongan pembesar-pembesar Quraisy datang menemui Nabi SAW. menyatakan, “Hai
Muhammad! Marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu dan
engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi, engkau menyembah
Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau
bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan jika
ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engkau telah bersekutu pula
bersama-sama kami dan engkau akan mendapat bagian pula daripadanya”. Beliau
menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutukan-Nya”. Lalu turunlah
surah Al Kafirun sebagai jawaban terhadap ajakan mereka.
Kemudian Nabi SAW pergi ke Masjidilharam menemui
orang-orang Quraisy yang sedang berkumpul di sana dan membaca surah Al Kafirun,
maka mereka berputus asa untuk dapat bekerja sama dengan Nabi SAW. Sejak itu
mulailah orang-orang Quraisy meningkatkan permusuhan mereka ke pada Nabi dengan
menyakiti beliau dan para sahabatnya, sehingga tiba masanya hijrah ke Madinah.
”Lakum Diinukum Waliya Diin” Ayat pamungkas yang merupakan ringkasan dan kesimpulan seluruh kandungan
surat Al-Kaafirun, secara umum semakna dengan firman Allah yang lain dalam QS.
Yunus [10]: 41, dan mungkin juga QS. Al-Qashash [28]: 55, serta yang lainnya.
Dimana semuanya berintikan pernyataan dan ikrar ketegasan sikap setiap orang
beriman terhadap setiap orang kafir, tanpa adanya sedikitpun toleransi,
kompromi dan pencampuran, jika terkait secara khusus tentang masalah dan urusan
agama masing-masing, yakni yang meliputi aspek aqidah, ritual ibadah dan hukum.
Namun demikian dari sisi yang lain, jika kita renungkan, surat
inipun dari awal sampai akhir, sebenarnya juga mengandung makna sikap toleransi
Islam dan kaum muslimin terhadap agama lain dan pemeluknya. Yakni berupa sikap
pengakuan terhadap eksistensi agama selain Islam dan keberadaan
penganut-penganutnya. Meskipun yang dimaksud tentulah sekadar pengakuan
terhadap realita, dan sama sekali bukan pengakuan pembenaran.
Dan diperbolehkan untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir
dalam berbagai bidang kehidupan umum, Sebagaimana tersirat dalam Al Quran surah
Luqman ayat 15 yang artinya; “dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
QS [60]: 8
Dan pada surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah ta’ala berfirman : “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.”
*Burhan Ali, Lc, Mahasiswa Universitas Hassan II – Casablanca, pada program Master jurusan "Akidah
dan Agama-agama di Gharb Al Islam dan Pengaruhnya dalam Dialog”
**Artikel untuk mengisi buletin bulanan Sayyidul Ayyam - PPI Maroko edisi Februari 2013.
Sumber: