Pada penetapan hari arafah dan Hari Raya Idul Adha kali ini masih terjadi perbedaan antara Arab Saudi dan Indonesia dengan Kerajaan Maroko. Dikala kerajaan Arab Saudi dan pemerintah Indonesia sudah menetapkan bahwa wukuf di Padang Arafah tahun ini yang jatuh bertepatan dengan hari Sabtu, tanggal 5 November 2011, dan Hari Raya Idul Adha pada hari Ahad, 6 November 2011. Kerajaan Maroko menetapkan bahwa 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Ahad dan Hari Raya Idul Adha atau 10 Dzulhijjah jatuh pada hari Senin, 7 November.
Dengan adanya penetapan ini maka terjadi perbedaan hari Arafah antara umat muslimin yang berada di Arafah, yang sedang melaksanakan ibadah Haji dengan umat Islam Ahlul Maghrib atau yang sedang tinggal di Maroko termasuk kita WNI dan Mahasiswa Indonesia di Maroko.
Padahal menurut pengertian Syara', puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 bulan Dzulhijah pada kalender Islam Qamariyah/Hijriyah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang tidak menjalankan ibadah haji.
Ustad Dr. Zainal 'Abidin BelFreij, Guru Besar Ilmu Hadist di Universitas Hassan II Casablanca, mengatakan bahwa kita harus mengikuti puasa dimana orang yang berhaji sedang melakukan wukuf di padang Arafah.
Jadi beliau mengatakan agar kita yang sedang berada di Maroko untuk melakukan puasa Sunnah Arafah pada hari Sabtu, 5 November 2011 dan baru menyembelih Hewan Qurban pada Hari Senin, 7 November 2011 mengikuti penetapan kerajaan Maroko.
Keutamaan puasa Arafah
Fadilah atau keutamaan puasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat. (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)
Para ulama menambahkan adanya kesunnahan puasa Tarwiyah yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain, bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan bahwa hadits ini dloif (tidak kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Selain itu, memang pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Abnu Abbas RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ أيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِيْ أَياَّمُ اْلعُشْرِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلَا
الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهُ فَلَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ
Diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, walaupun jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya atau menjadi syahid. (HR Bukhari)
Puasa Arafah dan Tarwiyah sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci.
Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa.
Pembahasan Puasa di Hari Sabtu
Namun karena penetapan Hari Arafah yang jatuh pada Hari Sabtu, menjadi bahan pembicaraan yang hangat dikalangan ahli ilmu bahkan orang awam yang terbawa pembicaraan tersebut. Karena, ada hadits akan larangan puasa di hari Sabtu.
Masalah larangan puasa di hari Sabtu itu, berdasarkan kepada hadits ini:
“Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian.” HR. Abu Daud no. 2421, At Tirmidzi no. 744, Ibnu Majah no. 1726. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lantas, bagaimana jika kemudian Hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu ? Yakni, ketika jamaah haji sedang melaksanakan wukuf di padang Arafah, maka yang tidak berhaji -seperti kita- disunnahkan untuk puasa Arafah.
Sedang puasa Arafah itu, begitu besar fadhilahnya untuk dilewatkan, karena menghapus dosa-dosa (kecil) setahun yang telah lewat dan yang akan datang.
“Puasa satu hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Puasa hari 'Asyura' (tanggal 10 Muharram), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162, dari Abu Qatadah).
Bukankah, ini sangat istimewa? Bagaimanakah kemudian, jika puasa di hari Sabtu yang juga hari Arafah?
Mengacu kepada hadits yang diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan syaikh Albani yang menyatakan keshahihannya di atas, maka kedudukan boleh tidaknya puasa di hari Sabtu ini, menjadi khilaf bainal ulama'. Khilaf syar'iyyah, lantaran banyaknya hadits yang menjelaskan masalah ini.
Yang satu, membolehkan. Yang lain, tidak memperbolehkan (dengan berpegangan pada teks hadits diatas).
Berikut penjelasan tentang Puasa di hari Sabtu yang saya kutip dari Keterangan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) Mengenai Puasa pada Hari Sabtu:
Rincian Berpuasa pada Hari Sabtu
Rincian yang sangat bagus mengenai hal ini telah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin sebagai berikut.
Keadaan pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan), atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.
Keadaan kedua: Jika berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,
« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »
“Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[HR. Bukhari no. 1986.]
Perkataan beliau “Apakah engkau berpuasa besok (Sabtu)?”, ini menunjukkan bolehnya berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikuti dengan berpuasa pada hari Jum’at.
Keadaan ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari yang disyari’atkan untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.
Keadaan keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya .
Keadaan kelima: Mengkhususkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan larangan berpuasa pada hari Sabtu, jika memang hadits yang membicarakan tentang hal ini shahih.
[–Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin-Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/57-58, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.]
Wallohu a'lam bishowab.